Jelang berakhirnya masa pemerintahan Jokowi-Ma’ruf, tantangan terkait akses air layak pakai dan air minum masih menjadi permasalahan yang belum terselesaikan. Hingga tahun 2022, presentase akses air minum perpipaan di Indonesia hanya mencapai 20.69%. Menurut Anggota Dewan Pakar DPP Gerindra, Bambang Haryo Soekartono (BHS), peningkatan akses masyarakat pada air layak pakai dan air minum membutuhkan komitmen pemerintah yang konsisten. Indonesia memiliki sumber daya air yang melimpah, namun pemanfaatannya masih belum optimal. Sungai-sungai di Indonesia memiliki potensi yang besar sebagai sumber air baku untuk kebutuhan air layak pakai dan air minum.
BHS mengungkapkan bahwa meskipun Sungai Brantas di Jawa Timur mengalami penurunan debit air, masih ada potensi air yang bisa dimanfaatkan. Namun, pemanfaatan sungai sebagai sumber air baku oleh pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah, masih belum maksimal. Contohnya, di Surabaya, meskipun pipanisasi akses air layak pakai telah mencapai 100%, masih ada wilayah seperti Sidoarjo yang akses air layak pakainya hanya mencapai 35%. Selain itu, harga air PDAM yang layak pakai namun bukan layak minum di Indonesia tergolong mahal, mengingat akses air minum yang layak diminum masih memerlukan biaya tambahan.
BHS menyatakan keprihatinannya terkait mahalnya harga air minum layak di Indonesia, sementara akses air bersih yang layak tetap belum merata. Dia menegaskan perlunya kemauan pemerintah untuk mengatasi masalah ini dengan menetapkan kebijakan yang mendukung akses air layak minum untuk seluruh penduduk Indonesia. Pemerintah diharapkan melakukan kajian yang mencermati biaya pengelolaan air, menetapkan margin keuntungan yang wajar, serta melibatkan perwakilan masyarakat dalam proses audit untuk memastikan kesejahteraan masyarakat terjamin. Semua ini bertujuan agar bisnis infrastruktur air di Indonesia dapat memberikan manfaat maksimal bagi seluruh rakyat.