Keadaan kesepian menjadi perhatian utama di berbagai negara, dengan berbagai upaya yang dilakukan untuk menanggulanginya. Jepang, pada tahun 2025, mengesahkan penggunaan robot pendamping untuk warga lanjut usia sebagai respons terhadap krisis kemanusiaan yang dikenal sebagai kodokushi atau “kematian dalam kesepian.” Pada tahun 2018, Inggris menunjuk Tracey Crouch sebagai Menteri Kesepian pertama di dunia setelah laporan pemerintah mengungkap peningkatan isolasi sosial.
Di Amerika Serikat, generasi Z juga menghadapi masalah kesepian dengan semakin merasa dekat dengan aplikasi daripada dengan manusia. Laporan Surgeon General AS bahkan menyebut kesepian sebagai “epidemi” dengan risiko kesehatan setara dengan merokok 15 batang rokok per hari.
Fenomena kesepian global ini juga tercermin dalam booming bisnis “obat kesepian” yang tersebar di seluruh dunia. Layanan seperti aplikasi teman bicara, chatbot AI, penyewaan pria paruh baya, bilik makan tunggal di restoran, terapi mental online, hingga penyewaan hewan peliharaan menawarkan solusi bagi orang-orang yang merasa terisolasi.
Psikolog Sam Goldstein dari University of Utah School of Medicine menggambarkan bahwa kerinduan akan hubungan manusia bermakna semakin dirasakan oleh banyak orang. Faktor-faktor seperti kerja jarak jauh, hilangnya komunitas tradisional, dan budaya yang mementingkan kemandirian menyebabkan orang mencari pengganti emosional digital.
Perkembangan teknologi juga turut berperan dalam meningkatkan kebutuhan akan kedekatan digital, meskipun seringkali tidak mampu memenuhi kebutuhan relasi manusia yang sejati. Kesepian telah diakui sebagai masalah kesehatan global dengan dampak sosial dan ekonomi yang signifikan, terutama karena dapat menyebabkan banyak masalah kesehatan serius. Semua ini menimbulkan pertanyaan seputar pentingnya koneksi manusia yang sejati dalam era digital ini, dan sejauh mana aplikasi dan teknologi dapat memenuhi kebutuhan akan hubungan yang bermakna.

