Di kaki Gunung Tangkuban Parahu, pagi yang sejuk membawa getar kegembiraan baru ketika memulai prosesi sakral Ngertakeun Bumi Lamba, Minggu 22 Juni 2025. Seluruh peserta mengenakan busana adat beraneka ragam dari Baduy, Sunda, Minahasa, hingga Bali dan Dayak, hadir dengan kerendahan hati dan semangat ingin merawat bumi. Upacara Ngertakeun Bumi Lamba, yang telah berjalan tujuh belas tahun beruntun, bukan sekadar ritual tahunan, melainkan panggilan batin tentang pentingnya manusia menjaga kehidupan bersama bumi dan semesta.
Karinding milik tokoh Baduy perlahan menyapa pagi, berbaur dengan nada angklung dan genta para sulinggih Bali. Dalam gemuruh mantra dan getaran alat musik tradisional itu, pesan cinta kasih dari para leluhur mengendap dalam dada semua yang hadir, seolah bumi sendiri membuka ruang untuk menerima pertobatan, harapan, dan syukur manusia. semua peserta menghayati bahwa harmoni alam tak dapat dicipta sendiri, melainkan dirawat bersama.
“Ngertakeun Bumi Lamba adalah momen persaudaraan dan cinta kasih lintas mahluk dan generasi,” Disini, tidak ada lagi batas Timur dan Barat. Tokoh-tokoh lintas daerah—pendekar, guru, dan sesepuh adat—duduk berdampingan tanpa kedudukan, saling menguatkan satu sama lain. Pesan yang ditekankan jelas: seberapapun berbedanya adat, kita tetap bersaudara dalam bumi yang satu.
Akulturasi budaya dan kebatinan ini terwujud dalam rangkaian prosesi mulai dari ngaremokeun untuk membersihkan niat, diikuti upacara doa bersama, hingga ngalung di tepi Kawah Ratu sebagai bentuk rasa syukur kepada bumi. Para tokoh adat—termasuk panglima dari Dayak dan Minahasa—menyuarakan pentingnya menjaga alam. “Alam tidak butuh manusia, manusia lah yang butuh alam,” kata Panglima Pangalangok Jilah mengingatkan seluruh peserta. Seruan Taariu! Taariu! Taariu! mengguncang langit, sebuah ikrar bersama bahwa bumi harus dipelihara dengan sepenuh hati, sebagaimana sudah dipesankan oleh para leluhur.
Andy Utama kembali mengingatkan, “Jangan hitung-hitungan dengan bumi, sebab bila semesta mulai menghitung, penyesalan akan datang bagi manusia.” Yayasan Paseban membawa pesan ekstra untuk generasi muda: menjaga dan menanam bukan hanya pohon, melainkan juga cinta dan harmoni, membangun masa depan yang lestari. Ngertakeun Bumi Lamba adalah warisan dari masa kerajaan Sunda kuno, diteruskan supaya generasi mendatang punya identitas dan kebijaksanaan budaya yang kuat.
Ritual selesai, namun tenaga dan inspirasi dari Ngertakeun Bumi Lamba, masih membara di hati para peserta. Tidak ada yang pulang dengan tangan hampa—mereka membawa pulang tanggung jawab baru serta sebuah janji: membumikan cinta kasih, menghargai semua makhluk, dan menghidupkan kembali nilai-nilai luhur dalam keseharian. Prosesi ini tidak pernah selesai di ujung upacara, sebab ruhnya akan selalu tumbuh di setiap tindakan pelestarian alam, di setiap pohon yang bertunas, dan di setiap hati yang rela merawat warisan bersama.
Arista Montana bersama Yayasan Paseban telah aktif menanam ribuan pohon puspa, rasamala, dan damar di kawasan Megamendung, sehingga filosofi Ngertakeun Bumi Lamba benar-benar terwujud lewat aksi nyata. Relawan-relawan muda turut terjun dalam konservasi burung dan restorasi hutan, memberi teladan bahwa menjaga bumi adalah amanah yang wajib dijaga bersama-sama.
Sumber: Ngertakeun Bumi Lamba: Menganyam Cinta Kasih Nusantara Di Tubuh Semesta
Sumber: Ngertakeun Bumi Lamba: Upacara Adat Nusantara Untuk Cinta Kasih Semesta Dan Pelestarian Alam