Kualitas udara di DKI Jakarta mengalami penurunan yang signifikan, berdasarkan data dari situs pemantau kualitas udara IQAir. Pada Senin pagi, Jakarta menempati peringkat kelima sebagai kota dengan kualitas udara terburuk di dunia. Indeks kualitas udara (AQI) pada pukul 05.00 WIB menunjukkan angka 140, yang masuk dalam kategori tidak sehat bagi kelompok sensitif. Partikel halus PM 2.5 menjadi faktor utama yang mempengaruhi kualitas udara di ibu kota.
Addis Ababa, Etiopia menempati peringkat pertama sebagai kota dengan kualitas udara terburuk di dunia dengan indeks AQI 164, diikuti oleh Dhaka, Bangladesh dengan angka 160, dan Kinshasa, Kongo dengan angka 156. Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta berencana untuk mengambil contoh dari kota-kota besar lainnya seperti Paris dan Bangkok dalam menangani polusi udara.
Kepala DLH DKI Jakarta, Asep Kuswanto, mengungkapkan bahwa Jakarta akan menambah jumlah stasiun pemantau kualitas udara (SPKU) dari 111 unit menjadi lebih banyak lagi. Langkah ini diharapkan dapat memungkinkan intervensi yang lebih cepat dan akurat dalam penanganan polusi udara. Selain itu, keterbukaan data juga dianggap sebagai langkah penting dalam memperbaiki kualitas udara secara sistematis.
Asep menegaskan bahwa intervensi jangka panjang dan berkelanjutan diperlukan untuk menangani masalah pencemaran udara. DLH DKI Jakarta juga memiliki target untuk menambah 1.000 sensor kualitas udara berbiaya rendah guna memperluas cakupan pemantauan dan meningkatkan akurasi data. Langkah-langkah ini diharapkan dapat membantu memperbaiki kualitas udara dan memberikan dampak positif bagi warga Jakarta.