Berita  

Mengenal Kepercayaan Sunda Wiwitan di Tanah Pasundan

Kepercayaan Sunda Wiwitan merupakan salah satu aliran kepercayaan lokal yang telah muncul sejak zaman dulu di tanah Pasundan. Ajaran ini memiliki sejarah panjang sebelum agama besar seperti Hindu, Islam, dan Kristen hadir di wilayah Nusantara. Dalam kepercayaan Sunda Wiwitan, Sang Hyang Kersa dianggap sebagai Tuhan Yang Maha Esa, dikenal juga sebagai Nu Ngersakeun (Yang Menghendaki). Konsep kepercayaan ini dijadikan sebagai pedoman moral dan jalan hidup bagi para penganutnya. Meskipun termasuk dalam aliran kepercayaan, komunitas adat seperti Kanekes (Badui) menganggap Sunda Wiwitan sebagai agama mereka, disebut sebagai “Slam Sunda Wiwitan.”

Kepercayaan ini mengenal konsep monoteisme purba yang meyakini keberadaan satu Dzat Maha Kuasa, Sang Hyang Kersa, yang tak berwujud namun menjadi sumber dari kehidupan. Sunda Wiwitan membagi alam semesta ke dalam tiga lapisan utama: Buana Nyungcung (alam tertinggi), Buana Panca Tengah (alam tempat manusia tinggal), dan Buana Larang (alam paling bawah). Selain itu, terdapat 18 lapisan alam spiritual di antara Buana Nyungcung dan Buana Panca Tengah, termasuk Mandala Hyang dan Alam Kahyangan.

Ajaran moral Sunda Wiwitan didasarkan pada dua prinsip utama: Cara Ciri Manusia dan Cara Ciri Bangsa. Prinsip ini tidak tertulis dalam kitab suci Sunda Wiwitan, Sanghyang Siksa Kandang Karesian (Kropak 630), namun dijalankan dalam praktik kehidupan sehari-hari. Norma utama ajaran ini adalah larangan melakukan hal yang tidak disenangi orang lain, membahayakan orang lain, dan membahayakan diri sendiri.

Tradisi perayaan serta pemujaan dalam Sunda Wiwitan dilakukan melalui pantun, kidung, dan tarian tradisional. Salah satu tradisi yang penting adalah Seren Taun, perayaan syukur atas hasil panen dan pergantian tahun berdasarkan penanggalan Sunda. Tempat-tempat suci dalam ajaran ini disebut pamunjungan atau kabuyutan, misalnya Situs Genter Bumi dan Gunung Padang.

Meskipun eksis sebelum agama-agama besar, penganut Sunda Wiwitan masih menghadapi diskriminasi. Hal ini terjadi pada 20 Juli 2020, ketika area pemakaman penganut Sunda Wiwitan di Kabupaten Kuningan disegel oleh aparat dan warga karena alasan tidak memiliki izin mendirikan bangunan (IMB). Tokoh penganut memberi klarifikasi bahwa Sunda Wiwitan adalah kepercayaan yang telah turun-temurun diwariskan.

Nilai dan ajaran Sunda Wiwitan masih menjadi bagian dari warisan budaya Sunda meskipun banyak yang telah memeluk agama formal. Keberadaan ribuan situs pamunjungan di Tatar Sunda menjadi bukti sejarah akan keberadaan sistem kepercayaan Sunda sebelum era kerajaan Hindu-Buddha dan Islam. Pelestarian ajaran dan tradisi Sunda Wiwitan diharapkan dapat menjaga kekayaan spiritual dan kearifan lokal bangsa Indonesia.

Source link