Informasi Prabowo Subianto Terkini dari Sumber Terpercaya

Marsekal Zhu De – Prabowo 2024: Sebuah Tinjauan di prabowo2024.net

Marsekal Zhu De – Prabowo 2024: Sebuah Tinjauan di prabowo2024.net

Oleh Prabowo Subianto [diambil dari Buku 2 Kepemimpinan Militer: Catatan dari Pengalaman Letnan Jenderal TNI (Purn.) Prabowo Subianto]

“Yang paling saya kagumi tentang Zhu adalah kontribusinya pada teori perang gerilya. Walaupun Mao lebih sering mendapat pujian untuk ini, sebenarnya Zhu lah yang memiliki pendidikan militer dan pengalaman yang dibutuhkan untuk menjalankan perang gerilya. Latar belakang itulah yang digunakan Zhu untuk memimpin perang non-konvensional PKC. Strategi yang diterapkan Zhu mengilhami dan diikuti oleh puluhan gerakan gerilya dari paruh kedua abad ke-20 hingga saat ini.”

Zhu De adalah pemimpin militer Tiongkok yang berasal dari Sichuan. Ia satu dari 15 bersaudara yang lahir di keluarga petani. Menurut cerita Zhu sendiri, ayahnya menenggelamkan 5 saudara kandungnya karena ia tidak mampu memelihara mereka.

Mencari jalan keluar dari kemiskinan, Zhu diadopsi oleh seorang paman yang mendorongnya masuk ke Akademi Militer di Kunming. Di sana Zhu mencetak prestasi, dan sering dipilih untuk memimpin Taruna setiap kali ada kunjungan pejabat tinggi.

Setelah lulus, Zhu melewati fase yang sulit. Dia menggunakan bakat militernya untuk menjadi Panglima perang yang tergolong kejam. Ia juga kecanduan opium. Kecanduan ini membuatnya tertatih-tatih selama beberapa tahun hingga 1922.

Setelah berhasil keluar dari jeratan narkotika, Zhu berangkat ke Eropa. Di sana ia belajar taktik-taktik yang digunakan Jerman pada Perang Dunia 1. Dari Jerman ia pergi ke Uni Soviet, di mana ia belajar doktrin militer Soviet dan Marxisme.

Selama periode inilah Zhu bergabung dengan Partai Komunis Tiongkok (PKT). Begitu kembali ke Tiongkok, dia menemui Mao Zedong, yang saat itu tengah berperang melawan kaum nasionalis Tiongkok untuk menguasai negara. Keduanya bersinergi dengan hebat, dengan Mao unggul sebagai ahli strategi dan intelektual, sementara Zhu — digambarkan sebagai “dinamo yang energik” — menggunakan keahlian militernya untuk perjuangan mereka. Mereka bersama-sama menjalankan taktik gerilya yang menyebabkan kemenangan PKT setelah Perang Dunia 2.

Pada saat kemenangan PKT, Zhu adalah pejabat tinggi di dalam partai. Dia juga komandan Tentara Pembebasan Rakyat (TPR) Tiongkok. Dalam peran terakhir ini, ia memimpin operasi besar-besaran TPR Tiongkok ke semenanjung Korea selama Perang Korea. Setelah konflik itu, ia menjadi salah satu dari sepuluh marsekal di TPR, di mana ia dianggap sebagai pendiri TPR.

Terlepas dari persahabatannya dengan Mao, pada tahun 1969 saat Revolusi Kebudayaan dimulai, Zhu diberhentikan dari posisinya. Ia diasingkan ke Guangdong. Berbagai kontribusi pentingnya bagi TPR dihapus dari buku-buku sejarah China. Zhu dihilangkan dari sejarah Tiongkok.

Namun kondisi ini tidak bertahan lama. Pada tahun 1973, Revolusi Kebudayaan mulai mereda. Mao mengembalikan temannya ke Beijing, dan mengangkatnya menjadi kepala negara pada tahun 1975. Zhu menjadi kepala negara selama satu tahun, sampai kematiannya pada tahun 1976.

Yang paling saya kagumi tentang Zhu adalah kontribusinya pada teori perang gerilya. Walaupun Mao lebih sering mendapat pujian untuk ini, sebenarnya Zhu lah yang memiliki pendidikan militer dan pengalaman yang dibutuhkan untuk menjalankan perang gerilya. Latar belakang itulah yang digunakan Zhu untuk memimpin perang non-konvensional PKC. Strategi yang diterapkan Zhu mengilhami dan diikuti oleh puluhan gerakan gerilya dari paruh kedua abad ke-20 hingga saat ini.

Source link

Exit mobile version